.:':. Apatheia blog .:':.

Manusia menjadi berbahagia kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang disebut "apatheia"
it is a concept, or mental exercise of letting go of your problems, at least the ones you have no control over, and letting God deal with them.
celoteh Apatheia | OpenYourMind | Apatheia story | Catatan | Style

open your mind: <strong>Mengetuk Pintu Rezeki</strong>

Monday, February 07, 2005

Mengetuk Pintu Rezeki

Mengapa pintu rezeki kadang begitu susah dibuka? Padahal, setiap anak Adam yang lahir ke dunia sudah ada jatah rezekinya. Jangan-jangan kita salah pintu. Atau pintu itu tersumbat. Kita harus menemukan kuncinya.
Setiap kita mendambakan kebahagiaan. Apa pun bentuknya. Adalah di antara kemurahan Allah ketika Dia menjadikan salah satu sumber kebahagiaan itu adalah harta. Karenanya, ketika Allah memerintahkan untuk mengejar kehidupan akhirat, Dia mengiringinya dengan perintah untuk mengambil bagian kesenangan duniawi. Jadi, mencari atau menyongsong rezeki duniawi bukanlah sesuatu yang salah ketika tidak mengabaikan ibadah pada Allah. Bahkan, usaha tersebut bisa jadi bernilai pahala saat diniatkan pada Allah.
Tapi, mengapa rezeki kadang begitu susah didapat? Padahal, setiap anak Adam yang lahir ke dunia sudah ada jatah rezekinya. Rezeki yang diberikan Allah takkan pindah ke tangan orang lain. Seandainya pindah, berarti rezeki itu bukan jatahnya. Jangan-jangan kita salah pintu. Kita mengetuk pintu rezeki yang salah. Atau, kita salah memegang kunci. Atau kita tak punya kunci sama sekali untuk membuka pintu rezeki. Atau memang pintu itu masih tersumbat sehingga mesti dicari kuncinya untuk bisa dibuka.
sudah dipaparkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sudah ada. Kita tinggal mengambilnya atau mengamalkannya.
Di antara kunci diturunkannya rezeki adalah istighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah. Ada yang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanya cukup dengan lisan semata. Padahal, tidak demikian.
Imam Nawawi menjelaskan taubat dengan ungkapan, “Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubat itu berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”
Beberapa nash al-Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab datangnya rezeki. Allah berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’,” (QS Nuh: 10-12).
Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat ini ketika memohon hujan kepada Allah. Diriwayatkan, suatu ketika Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Ia tidak lebih dari mengucapkan istighfar
(memohon ampun kepada Allah) lalu pulang. Seseorang bertanya kepadanya, “Aku tak mendengar Anda memohon hujan.” Maka ia menjawab, “Aku memohon diturunkannya hujan dengan menengadah ke langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan.” Lalu ia membaca ayat, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,” (QS Nuh: 10-11).
Hasan Bashri, seorang tabiin, juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun. Imam al-Qurthubi mengisahkan, “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Bashri tentang kegersangan (bumi). Ia berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, ia juga berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain lagi berkata kepadanya, ‘Doakanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!’ Maka, ia mengatakan kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya. Ia pun berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’
Dalam riwayat lain disebutkan, Rabi’ bin Shabih pernah bertanya pada Hasan Bashri, “Banyak orang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka untuk beristighfar.” Hasan Bashri menjawab, “Aku tak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai,’” (QS Nuh: 10-12).
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan (Hud berkata), ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’,” (QS Hud: 52).
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, “Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan. Kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rezekinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu, Allah berfirman, ‘Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu’”.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka,” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dalam hadits lain, Nabi saw mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rezeki, akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tak pernah terbetik dalam hatinya. Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rezeki hendaklah bersegera memperbanyak istighfar, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Hal lain yang bisa mengundang turunnya rezeki adala taqwa. Allah berfirman, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS ath-Thalaq: 2-3).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah, “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya,’” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/400).
Dalam ayat lain Allah dengan jelas menegaskan, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri,” (QS al-A’raf: 96).
Ketika menafsirkan firman Allah, ‘Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi’, Abdullah bin Abbas, seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan keluasan ilmu, mengatakan, “Niscaya Kami lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkannya dari segala arah,” (Tafsir Abu As-Su’ud, 3/253).
Menurut Imam ar-Razi, maksud firman Allah, ‘Berbagai keberkahan dari langit dan bumi’, adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berbagai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Langit laksana ayah, dan bumi laksana ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah (Tafsir at-Tahrir wa Tanwir, 9/22).
Di antara kunci rezeki lainnya adalah beribadah pada Allah sepenuhnya. Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, ‘Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)’.” (Al-Musnad, no. 8681, 16/284. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Shifatil Qiyamah, bab no. 2583, 7/140).
Dalam hadits tersebut Nabi saw menjelaskan, Allah menjanjikan pada orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua hadiah. Yaitu, mengisi hati orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, mengancam yang tidak beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua siksa. Yaitu, Allah memenuhi kedua tangan orang itu dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan manusia.
Selain itu, rezeki bisa juga turun melalui silaturahim. Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah SWT menjadikan silaturahim termasuk di antara sebab kelapangan rezeki. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaknyalah ia menyambung (tali) silaturahim.”
Dalam hadits lain, Nabi saw bersabda, “Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia,” (Al-Musnad, no. 8855, 17/142. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shilah, Bab Ma Ja’a fi Ta’limin Nasab, no. 2045).
Demikian besarnya pengaruh silaturahim dalam berkembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sampai-sampai harta ahli maksiat pun bisa berkembang karena silaturahim. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya ketaatan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturahim. Bahkan, hingga suatu keluarga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturahim, kemudian mereka (kekurangan), ” (Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, no. 440, 2/182-183).
Kalau ahli maksiat yang bersilaturahim pun dijanjikan Allah kelapangan rezeki, apalagi ahli ibadah. Bahkan, seharusnya silaturahim tak mesti menunggu waktu-waktu tertentu. Ia bisa dilakukan kapan saja, terutama pada kaum kerabat.

1 Comments:

Blogger Pa'Tunkz said...

Yupz...memang kadang kita tidak sadar akan dosa-dosa yang kita perbuat..dan istigfarnya masih hanya dlm lisan saja...

10:54 PM  

Post a Comment

<< Home